opini

Menghadapi Tantangan Budaya dalam Riset

“Oh, jadi tangga ini dengan tangga yang itu beda ya, Bu,” saya mengajukan pertanyaan kepada responden. “Ya sama,” jawab responden, yang membuat saya bingung. Padahal letak tangga maupun bentuknya kan beda, kenapa bisa sama? “Sama-sama nyambung ke atas,” kata responden saya sambil tertawa. Aduh!

listen-1702648_1920

Mungkin saya seharusnya tidak melakukan konfirmasi kepada responden saat melakukan wawancara. Jawaban responden ini memang benar-benar membingungkan. Berbagai jawaban yang dilontarkan pun bernada ambigu, seperti “Ya, bisa kayak gini, bisa kayak gitu.” “Barangkali.” atau “Yang itu bisa, yang ini juga bisa.” Belum lagi kalau jawabannya hanya berhenti pada “Wah, gak tahu.” atau “Aduh, saya tidak berani jawab ya. Ini bukan bidang saya. Saya takut salah ngasih jawaban.” Ujung-ujungnya, tidak ada jawaban sama sekali yang didapat.

Mungkin faktor budaya juga bisa mempengaruhi. Saya menduga bahwa jawaban-jawaban yang ambigu serta tidak to the point ini memang berkaitan dengan latar belakang serta asal-usul responden saya. Jawaban ini tidak jarang berliku-liku, serta membuat saya harus berkali-kali menanyakan pertanyaan sama dengan nada berbeda agar mendapat jawaban yang memuaskan.

Melakukan riset sosial, terutama riset kualitatif yang membutuhkan interaksi dengan responden, membutuhkan kecakapan peneliti untuk menghadapi tantangan budaya. Tidak dapat dipungkiri, bahwa budaya mempengaruhi pola jawaban serta nada bicara dari responden. Metode wawancara mengajarkan saya bahwa butuh keahlian khusus untuk memahami faktor sosial dan budaya dari responden. Subjektivitas sebagai kecakapan memahami perilaku sosial dibutuhkan dalam metode penelitian seperti ini untuk merangkum dan memetakan jawaban dari responden.

Saya kemudian wajar bahwa sangat wajar setiap responden memberikan jawaban yang dengan cara yang berbeda, terlebih lagi apabila memang latar belakang budayanya berbeda. Kita tidak perlu menggerutu bahwa ada responden yang tidak memberikan jawaban secara frontal karena mungkin latar belakang budayanya mendorong sikap demikian. Peran kita sebagai peneliti-lha yang menjembatani antara jawaban responden agar dapat mudah ditangkap dan dipahami secara objektif kepada khalayak, terutama dalam ranah akademis.

office-583841_1920

Namun bukan berarti saya kapok untuk melakukan riset yang membutuhkan interaksi dengan responden. Tantangan budaya bagi saya, sebagai peneliti di bidang sosial, merupakan sarana berlatih agar semakin handal menghadapi responden. Dengan sifat penelitian yang eksploratif, semakin handal dan cakap ketika melakukan wawancara, saya bisa mendapatkan jawaban yang mendalam serta wawasan-wawasan baru berkaitan dengan topik yang saya teliti. Mungkin prosesnya membutuhkan waktu yang lama – belum lagi harus melakukan transkrip wawancara, merangkum, serta melakukan coding kata kunci untuk memetakan hasil wawancara. Akan tetapi, saya bisa membuka persepsi baru karena responden sering membantu memberikan jawaban menarik yang tidak pernah kita duga sebelumnya.

Leave a comment